SUATU siang di Paleis Huis ten Bosch, istana Ratu Beatrix di Den Haag, Belanda. Sang Ratu dijadwalkan menerima laporan tentang pembentukan kabinet baru negeri itu. Seorang pengendara sepeda dengan santai memasuki pintu depan istana dan berhenti di depan petugas protokol. Sang petugas dengan sigap menyilakan sang pengendara masuk. Sepedanya kemudian diparkirkan oleh sang petugas.
Pengendara sepeda itu adalah Piet Hein Donner, Menteri Sosial dan Tenaga Kerja Belanda, yang datang melaporkan hasil pembentukan kabinet. Untuk misi sepenting itu, ia tiba tanpa iringan mobil dan pengawal, tapi mengayuh sepeda sendirian.
Cerita semacam ini memang melegenda di Negeri Kincir Angin. Kisah ini menunjukkan betapa sepeda telah membudaya di negeri itu. Tapi tak semua pihak bisa memahaminya. "Saat saya menceritakannya dalam sebuah seminar, seorang peserta dari Inggris bertanya, 'Apakah sang Menteri tidak diberhentikan dari pekerjaannya, karena tidak menghormati Ratu (dengan naik sepeda ke istana)?'" kata Hans Voerknecht dari Fietsberaad atau Badan Konsultasi Sepeda Belanda.
Tentu saja tidak. Seperti ditulis sejarawan Belanda, Han van der Horst, dalam buku Low Sky, Understanding the Dutch, "Di Belanda, kesederhanaan adalah sebuah kebajikan." Mungkin itulah kata kuncinya: kesederhanaan. Kebersahajaan alat transportasi yang bernama sepeda itu tumbuh dan menyatu sebagai budaya dalam masyarakat Belanda.
Popularitas sepeda sudah terasa sebelum orang memasuki negara itu. Dalam perjalanan kereta api dari Brussel menuju Groningen di Belanda Utara pekan lalu, Tempo melihat seorang bapak dengan tenang membawa sepeda lipat dan meletakkannya di rak atas kepala. Dan, saat turun, tampaklah bahwa di setiap gerbong kereta itu setidaknya ada satu orang seperti dia.
Di negeri itu, jumlah sepeda melebihi jumlah penduduknya. Statistik pada 2005 menunjukkan ada sekitar 18 juta sepeda untuk sekitar 16 juta penduduk. Kepemilikan ini berbanding lurus dengan penggunaan. Belanda menempati posisi negara pesepeda nomor satu di dunia: 27 persen dari seluruh mobilitas penduduknya dilakukan dengan sepeda. Bandingkan dengan Amerika Serikat, dengan "budaya mobil"-nya: hanya satu persen transportasi dilakukan dengan sepeda.
Di antara kota-kota yang cukup besar di Belanda, Groningen menempati posisi persentase bersepeda tertinggi. Wajah Groningen sebagai kota sepeda terasa begitu keluar dari stasiun. Ribuan sepeda tampak berjejer di tempat parkir bertingkat di bawah tanah stasiun. Dengan tidak mengganggu pemandangan arsitektur stasiun berumur lebih dari 100 tahun itu, tempat parkir tersebut sanggup menampung lebih dari 4.500 sepeda. Sekitar 50 meter ke arah kanan ada pula terminal bus kota.
Berpadunya sepeda dengan bus kota, kereta api, dan transportasi umum lain seperti ini menjadi pola transportasi di kota-kota Belanda. Hampir setiap stasiun punya tempat penyewaan sepeda. Jaringan jalur sepeda di Belanda dibuat sedemikian rupa sehingga terpisah dari alur jalan raya. Jalur itu bahkan bisa memotong blok bangunan dan gang-gang, yang merupakan jalan buntu bagi mobil. Semua jalur itu memiliki tanda lalu lintas yang seragam dan mudah diikuti. Rute-rute berwarna khusus dan bernomor itu bahkan memudahkan orang yang baru pertama kali melihatnya.
Jalur sepeda menawarkan jalan pintas yang lebih cepat daripada jalur pengendara kendaraan bermotor. Banyak jalan searah untuk mobil yang menjadi jalan dua arah untuk sepeda. Di persimpangan pun mereka diprioritaskan, dan kalau belok kanan (di sana arus lalu lintas di sisi kanan jalan), mereka boleh jalan langsung.
Untuk lebih menguntungkan dan melindungi pesepeda, jalan di daerah perumahan juga menerapkan metode pelambatan lalu lintas. Kecepatan dibatasi 30 kilometer per jam di perumahan. Di jalan yang sempit, mobil bahkan harus minggir untuk memberikan jalan bagi pesepeda dan pejalan kaki.
Bila dengan prioritas itu masih juga terjadi kecelakaan antara sepeda dan kendaraan bermotor, hukum lalu lintas di Belanda sepenuhnya melindungi pesepeda. Tidak peduli kesalahan di pihak siapa, kendaraan bermotorlah yang menanggung biaya atau kerugian yang ditimbulkan akibat kecelakaan. Ini mendukung prinsip bahwa di jalan raya yang kuat harus mengalah atau melindungi yang lemah.
Di Groningen bahkan beberapa perempatan lampu lalu lintas untuk sepeda bisa menyala hijau serentak. Maka semua pesepeda serempak melintasi persimpangan itu, tapi tetap saling memberi jalan. Di sinilah sopan santun lalu lintas bersepeda betul-betul dipraktekkan. Kota Groningen, yang berpenduduk 184 ribu jiwa, memiliki sekitar 300 ribu sepeda dan jalur khusus sepeda sepanjang 205 kilometer.
Sumber : Majalah Tempo - Intermezzo - 11 Oktober 2010 & http://b2w-indonesia.or.id/news/read/kisah_kereta_angin_negeri_tulip
0 komentar:
Posting Komentar