Subscribe:

Kamis, 14 Juni 2012

Ada Apa di Balik Rencana Pembangunan Kalimantan Railways ??


Oleh : Niji No Saki (www.kompasiana.com/niji_no_saki)


Pagi ini ketika chatting dengan orangtua saya di Balikpapan, mereka bercerita tentang mega proyek pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. “Berita bagus..” pikir saya, sudah saatnya Kalimantan punya transportasi masal seperti halnya Jawa dan Sumatera. Usaha pembangunan jalur trans kalimantan ini konon pernah dilakukan oleh pemerintah Belanda, namun ribuan kilometer hutan hujan tropis yang membentang 1,5 kali panjang pulau Jawa tersebut membuat proyek ini gagal dilakukan. Rintangannya dianggap terlalu besar pada saat itu.

Sejak RI merdeka, Kalimantan seperti halnya daerah-daerah timur Indonesia lainnya, adalah daerah yang terlupakan. Segala macam hasil tambang diangkut dari dalam perutnya namun sedikit sekali masyarakat menikmati hasilnya. Baru ketika otonomi daerah diberlakukan ekonomi dan dinamika sosial mulai bergeliat. Hal ini menghantarkan kota-kota seperti Balikpapan dan Bontang diminati para pencari kerja dari seluruh Indonesia.

Jakarta Post tanggal 8 Februari 2012 memberitakan bahwa perusahaan kereta api Rusia Joint Stock Company (JSC) Russian Railway menandatangani MoU dengan pemerintah Kaltim untuk membangun jalur kereta api sepanjang 243 Km yang akan menghubungkan kab. Murung Raya di Kalteng dengan Balikpapan di Kaltim dengan nilai investasi sebesar US$ 2,4 miliar (sekitar Rp 21,6 triliun).  Pembangunannya akan dimulai di tahun 2013. Dalam paparannya, direktur Kalimantan Rail, Andrey Shigaev menyatakan bahwa Rusia memiliki pengalaman puluhan tahun mengembangkan infrastruktur perkeretaapian. Ia juga menjamin bahwa teknologi negaranya tak kalah dengan bangsa-bangsa lain, “Ini seperti (senjata) Kalashnikov tapi di atas rel. Teknologinya bisa diandalkan, murah dan mudah dalam pemeliharaannya.”

Rusia adalah salah satu negara dengan luas tanah terbesar di dunia. Ia terkenal dengan rel kereta api terpanjang di dunia, Trans-Siberian Railway yang membentang lebih dari 9200 Km dari Moscow di ujung barat hingga Vladivostok di tepi Pasifik yang pembangunannya dimulai di abad ke-19. Selain itu, Rusia juga dikenal sebagai eksportir utama fuel di Eropa. Ia memiliki cadangan natural gas terbesar di dunia dan peringkat ke-8 dalam cadangan minyak. Sebagian besar stasiun pengisian bensin di Eropa adalah milik Rusia. Pasca kolapsnya Uni Soviet, Rusia tetap menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.

Gelontoran investasi Rusia di Kalimantan ini ternyata bukan satu-satunya, Selasa lalu (7/2/2012) pemerintah juga meneken MoU dengan investor asing asal Uni Emirat Arab, Ras Al Khaimah untuk membangun rel sepanjang 135 Km dari Muara Wahau ke Bengalon, Kutai Timur dengan nilai investasi US$ 560 juta (sekitar Rp 5 triliun). Eiitssss…jangan keburu senang dulu, kereta api tersebut teryata bukan untuk angkutan penumpang melainkan untuk batu bara.

Pastinya anda menyadari bahwa setiap pembangunan membutuhkan infrastruktur. Untuk menghubungkan daerah-daerah terpencil di Indonesia pemerintah mungkin tidak memiliki cukup dana sehingga harus merangkul investor untuk itu. Namun perlu dipertanyakan, dengan nilai investasi yang sedemikian fantastis kira-kira timbal balik apa yang akan didapatkan investor?

Kalimantan adalah raksasa tambang. Minyak bumi, gas alam dan yang baru-baru ini menimbulkan mining frenzy, batu bara. Batu bara di Kalimantan dapat dengan mudah dieksploitasi dengan tambang terbuka; orang tak perlu sulit-sulit menggali sekian kilometer ke dalam tanah untuk mendapatkannya seperti di China. Tinggal mengeruk saja, maka emas hitam itu sudah tampak di depan mata. Itulah pula sebabnya kebakaran hutan di Kalimantan kerap terjadi dan sulit dipadamkan. Batu bara yg terdapat di permukaan tanah dengan mudahnya menyambar sumber panas dari lingkungan.

Saat ini kebanyakan orang mengenal Kaltim Prima Coal (KPC) sebagai salah satu pemegang lisensi eksplorasi dan pertambangan batu bara terbesar di wilayah ini, namun ternyata ada yang jauh lebih besar lagi, dalam 1-2 tahun ke depan akan masuk perusahaan mega tambang asal Ingggris, BHP Biliton. Tak tanggung-tanggung, mereka memegang 7 konsesi yang dikeluarkan pemerintah pusat. Besarnya? lebih dari 3x lipat konsesi milik KPC, mereka mendapat lisensi mengelola 355 ribu hektar atau sepadan dengan 5x lipat luas kota Samarinda. Dari 7 konsesi ini, BHP Biliton diperkirakan dapat meraup 775 juta ton batubara, atau 15x produksi KPC yang 48 juta ton. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi kaltim, Amrullah membenarkan hal ini, tahun ini BHP masih melakukan eksplorasi, “Eksploitasinya kemungkinan tahun depan. Izinnya dari pusat..” jelasnya. Lokasi konsesi BHP Biliton yang ‘kebetulan’ terletak di ujung rel, di Kutai Barat dan Murung Raya membuat saya berpikir, adakah pembangunan rel ini merupakan upaya memuluskan jalan eksploitasi tersebut? Jika perusahaan ini telah beroperasi, tentu tak perlu waktu lama bagi JSC Rusia untuk mendapatkan BEP-nya.

Selain itu ada fakta menarik, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melalui wakilnya, Kahar Al Bahri mengemukakan bahwa Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Kab. Kutai Kartanegara (Kukar) membeludak di periode 2009-2011, bukan hanya jumlahnya namun juga luasnya. Jumlah IUP eksplorasi di tahun 2009 adalah 344 ribu hektare. Di tahun 2011, jumlah ini meningkat jadi 1,06 juta hektare. Pertambahan yang sangat luar biasa. “Bukan tidak mungkin, izin yang menembus 1 juta hektare di kabupaten ini tersebar di sekitar rel kereta api. Artinya ada aksi pengerukan batu bara yang luar biasa hebat sebentar lagi..” tambahnya.

Di atas kertas, investasi besar-besaran  memang mendatangkan keuntungan bagi negara, pun ia membuka ribuan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Namun apakah dampak yang ditimbulkannya sepadan dengan apa yang diterima oleh masyarakat kebanyakan? Mengenai rencana pembangunan kereta api ini, fungsi utamanya adalah pengangkut batu bara. Apa manfaat langsung yang bisa dirasakan rakyat? Dirjen Kemenhub Tundjung Inderawan mengatakan “Kereta api yang fokus mengangkut penumpang di dunia tidak ada yang untung. Paling banter sama. makanya harus ada subsidi silang, misalnya dengan angkutan barang atau batu bara.. Di tengah rutinitas mengangkut batu bara perusahaan memberikan jadwal khusus untuk mengangkut penumpang sebagai bentuk Corporate Social Responsibility (CSR)..” lanjutnya.

Nampaknya rencana eksploitasi ini sudah tinggal menunggu waktu, investor telah mengantongi ijin, MoU sudah diteken, dana siap digelontor dan kabar-kabarnya lahan sudah mulai dibebaskan. Namun ternyata tak semua orang setuju, Gubernur Kalteng Teras Narang menolaknya. Ia menegaskan bahwa kereta api pengangkut batu bara tsb akan meninggalkan bencana bagi rakyat Kalteng terutama di wilayah aliran S. Barito. Pasalnya daerah yg rencana akan dibangun itu berada pada kawasan hutan lindung di pegunungan Muller-Schwanner, Kab. Murung Raya yang berfungsi sebagai daerah resapan air.

Kekuatiran gubernur Kalteng ini sangat masuk akal. Semua orang Kalimantan yang tinggal di sekitar area penambangan juga tahu dampak kerusakan lingkungan yang ditinggalkan begitu saja oleh pengusaha ketika tambang sudah habis. Lubang-lubang bekas galian menganga sebesar danau tak jarang memakan korban. Air sungai pun tercemar akibat limbahnya. Reklamasi? Omong kosong…entah sudah berapa ribu hektar hutan yang telah dibabat habis dan ditinggalkan begitu saja. Akibatnya banjir pun kerap melanda pemukiman penduduk. Bukan itu saja, infrastruktur publik kerap menjadi korban. Berkunjunglah ke kota Samarinda atau Tenggarong, jalan rusak terbentang akibat aktivitas penambangan ini. Masih kurang? Jembatan pun kerap ditabrak oleh tongkang batu bara. Jembatan Mahakam I di Samarinda (bukan yg runtuh tahun lalu) tercatat pernah 6x ditabrak tongkang. Baru-baru ini jembatan Kalahien di Kalteng juga mengalami hal yang sama. Ini hanyalah sedikit dari sederet dampak negatif penambangan batu bara di Kalimantan, setelah sekian tahun dieksploitasi ternyata rakyat tak kunjung merasakan manfaatnya. Lihat saja Kutai Kartanegara yang dikenal sebagai kabupaten terkaya di Indonesia karena batu bara, ironisnya kasus gizi buruk di wilayah ini adalah yang terburuk di Kaltim.

Sebelum mega eksploitasi asing ini berjalan, pemerintah pusat dan daerah saja begitu tidak bergigi dalam menghadapi ulah pengusaha batu bara yang kerap merugikan masyarakat dan merusak lingkungan, lalu bagaimana mereka akan menghadapi kekuatan modal asing yang demikian masif? Tidak belajarkah pemerintah dari kasus Freeport, juga pada berbagai konflik sosial berujung pada kekerasan antara masyarakat dan penanam modal di seluruh Indonesia?  Pemberian ijin konsesi yg sedemikian luasnya tsb membuat saya mengelus dada, apalagi infrastruktur pendukungnya juga jatuh ke tangan asing. Mengapa dengan mudahnya menjual aset? Jika tak punya dana pun, tak bisakah pemerintah kita melibatkan BUMN atau perusahaan konstruksi lokal dalam pembangunannya? Setidaknya kita punya andil dalam mengelola dan membangun, tidak hanya sekedar memasrahkan begitu saja.

Batu bara memang selalu jadi rebutan. Sebelum investor asing seperti BHP Biliton masuk pun begitu banyak pengusaha lokal yang mencoba meraup untung darinya. Saya kira semua orang yang pernah berbisnis batu bara tahu bahwa ada jaringan mafia kuat di dalamnya. Begitu kuatnya hingga saat Dahlan Iskan masih menjabat sebagai Dirut PLN, beliau pernah mengemukakan betapa sulitnya PLN mendapatkan batu bara hingga harus membelinya dengan harga internasional. Sungguh ironis, rakyat Kalimantan literally hidup di atas tumpukan batu bara namun daerahnya mengalami krisis energi terparah di Indonesia. Penyebabnya adalah karena sebagian besar perusahaan batu bara lebih memilih mengekspor batu bara ke China dan India ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Saya terpekur, sejenak melirik perut yang kian hari kian membuncit. “Duhai nak, apa yang generasi kami bisa tinggalkan untukmu 20 tahun mendatang?”

Sumber:
Kaltim post edisi cetak

0 komentar:

Posting Komentar