Salah satu problem pembangunan yang masih belum teratasi di Indonesia adalah keterbatasan infrastruktur, antara lain membuat investor potensial berpikir ulang saat akan berinvestasi di sini. Pemerintah memang sudah menyadari hal ini dan melancarkan program seperti Infrastructure Summit. Namun, di tengah hiruk-pikuk politik, belum terdengar lagi terobosan pembangunan infrastruktur. Di tengah upaya meningkatkan kapasitas infrastruktur ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 26 Januari, meresmikan Jalan Tol Kanci-Pejagan sepanjang 35 km. Yang menarik dari jalan tol ini adalah diterapkannya karya inovasi teknik sipil yang dinamai adhi concrete pavement system (ACPS ). Peresmian pada 26 Januari itu memang masih menyisakan satu-dua pertanyaan, seperti mengapa kita memfokuskan diri pada jalan tol, bukan pada jalan kereta atau jalan raya biasa yang lebih berpihak pada rakyat lebih banyak.
Namun, di luar wacana yang lebih bersifat ideologis tersebut, pertimbangan pragmatis memang lebih terasa. Yang lebih penting, infrastruktur yang dibutuhkan tersebut tersedia dan kalau bisa dibuat dengan lebih cepat, hasil lebih baik, biaya lebih ringan, dan ongkos pemeliharaan lebih murah. Untuk menjawab tuntutan di atas, peranan riset dan inovasi menjadi penting. Bagi perusahaan konstruksi yang sudah eksis selama 50 tahun, seperti Adhi Karya yang memperkenalkan ACPS, munculnya teknologi seperti ACPS juga sebagai jawaban. Dari sisi inovasi, ACPS merupakan jargon baru setelah pada masa lalu kita mendengar adanya teknik konstruksi cakar ayam dan teknik arjuna sasrabahu. Dari sisi teknik pengerasan jalan, orang melihat ACPS sebagai pengayaan. Apabila sebelum tahun 2009 hanya dikenal dua teknik perkerasan jalan, yakni ”perkerasan lentur” (flexible pavement) dan ”Perkerasan kaku” (concrete/rigid pavement), setelah 2009 ada perkerasan lentur dan perkerasan kaku yang bisa dibagi dua. Yang pertama adalah perkerasan kaku dengan pracetak-pratekan yang tidak lain adalah ACPS dan, yang kedua, perkerasan kaku dengan cor di tempat. Penganjur teknik ACPS mengaku bahwa teknik ini menghasilkan waktu konstruksi lebih cepat, hasil lebih bermutu dan lebih awet, menggunakan tenaga lebih sedikit, serta total biaya konstruksi dan pemeliharaan lebih kompetitif. Namun, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak yang membuka seminar ilmiah mengenai ACPS di Jakarta, Selasa (9/3), mengingatkan bahwa, ketika dibuat dalam skala industri, ada tantangan konsistensi kualitas. Hermanto juga menyebutkan bahwa perlu dicermati kelemahan yang ada pada beton. Selain menuntut presisi pada sambungan pelat beton, penggunaan beton juga menuntut kerataan. Kalau bisa dijamin dalam satu kilometer jalan beton bagian yang menggelembung naik atau turun tidak lebih dari empat meter, jalan tersebut baru bisa disebut rata. Sebagai karya inovasi yang baru diterapkan, ACPS memang masih harus menghadapi ujian waktu. Namun, kehadirannya memberi warna dalam karya inovasi nasional (meski komponen dasar inovasi ini berasal dari AS). Deputi Menteri BUMN Muhayat yang juga memberi sambutan dalam seminar, selain mengajak masyarakat untuk menghargai karya temuan nasional, juga menggarisbawahi peranan riset dan pengembangan guna menghasilkan produk yang kompetitif.
Seperti telah disinggung di depan, peluang pembangunan infrastruktur di Indonesia sekarang ini masih sangat besar. Mengingat geografi Tanah Air yang sangat luas, dengan kondisi yang amat beragam, Indonesia dipastikan membutuhkan berbagai karya inovasi iptek, termasuk dalam bidang teknik sipil. Dulu konstruksi cakar ayam dipromosikan untuk menjawab tantangan pembangunan jalan/landasan di daerah berawa. Teknik arjuna sasrabahu dibutuhkan untuk membangun jalan layang di atas jalan yang sibuk. Kini ACPS dimajukan untuk menjawab tantangan soal pembangunan jalan tol yang efisien. Satu hal yang lebih ingin digarisbawahi di sini adalah pentingnya budaya litbang dan inovasi karena dua faktor itulah yang akan menentukan daya saing suatu bisnis. Tanpa itu, seumur-umur kita hanya akan menjadi konsumen teknologi dan tak pernah menumbuhkan karya Iptek yang berdasar pada kondisi dan kearifan lokal.
Redesain dari sistem RPC ke Sistem ACPS
Desain awal Jalan Tol Kanci-Pejagan, menggunakan perkerasan kaku cor di tempat (Rigid Pavement Concrete- cast in situ) dengan ketebebalan 30 cm, sebagai struktur ruas Jalan Tol atau Jalan bebas hambatan ruas Kanci-Pejagan sepanjang 35 km. Penggunaan perkerasan kaku merupakan pilihan yang cukup baik, untuk jalan tol yang dilewati oleh beban cukup berat dan kecepatan cukup tinggi. Sifatnya yang lebih kuat dan lebih tahan lama, dibandingkan dengan perkerasan lentur menyebabkan perkerasan kaku menjadi pilihan yang tepat. Akan tetapi perkerasan kaku yang menggunakan sistem cor di tempat, mempunyai beberapa kelemahan dan membutuhkan masa pelaksanaan yang cukup lama.
“Karena sistem Rigid Pavement Concrete (RPC) mempunyai banyak kelemahan, kemudian kami mengusulkan kepada investor untuk menggunakan sistem baru di Indonesia yang sebenarnya sudah lama digunakan di Amerika Serikat, yaitu Precast Prestress Concrete Pavement (PPCP). Dan ide tersebut diterima oleh investor,” kata Dwiyono. Dalam kesempatan itu Nurhadi menambahkan, “Kami juga melihat langsung hasil yang telah dikerjakan di Amerika, yaitu di Texas, dan bisa melihat perbedaan jalan tol yang telah dilaksanakan dengan menggunakan sistem PPCP dengan sistem RPC yang berada berdampingan di daerah tersebut. Umur jalan tol umumnya direncanakan 50 tahun, tetapi jalan tol yang menggunakan sistem PPCP meskipun sudah berumur 30 tahun belum terlihat adanya kerusakan, karena dengan sistem tersebut dicetak di pabrik homogenitasnya sangat terkontrol. Berbeda dengan jalan tol yang menggunakan sistem RPC konvensional, dengan umur yang sama sudah terlihat adanya bekas retak-retak dan perbaikannya.”
Pada prinsipnya, sambung Dwiyono, beton tidak bisa menahan tarik. Namun, beton akan mengalami tarik akibat perbedaan suhu. Pada siang hari suhu udara panas, beton mengalami tarik di permukaan atas dan bagian bawah lebih dingin sehingga mengalami tekan. Sebaliknya, pada malam hari di permukaan atas beton mengalami tekan, dan pada bagian bawah mengalami tarik. Disebabkan masalah suhu tersebut yang terjadi setiap hari sehingga retak beton RPC merambat dari bawah ke atas atau sebaliknya. Retakan yang terjadi di RPC biasanya diikuti dengan terjadinya rembesan air dan diperparah dengan terjadinya pumping. Itu berarti kegagalan struktur. Hal tersebut sering dialami pada beton untuk pekerjaan jalan dengan sistem RPC, yang dilaksanakan dengan cor di tempat.
“Dengan berbagai kelebihan yang ada pada sistem PPCP, selanjutnya sistem PPCP kami terapkan pada pekerjaan Jalan Tol Kanci-Pejagan, dan dirubah namanya menjadi Adhi Concrete Pavement System atau ACPS,” kata Dwiyono. Sembari menambahkan, kelebihan sistem ACPS siap digunakan setelah selesai distressing (maks 3 hari), sedangkan sistem RPC karena dikerjakan secara konvensional harus menunggu sampai beton mencapai kekuatan rencana (28 hari). Selain itu, kelebihan sistem ACPS dapat dilaksanakan siang atau malam hari, dalam cuaca baik maupun cuaca buruk tanpa mengurangi kualitas pekerjaan. Jadi penundaan pekerjaan akibat kondisi alam dapat diminimalkan. Pada saat di lapangan sedang melakukan pekerjaan tanah, produksi ACPS di pabrik bisa dilakukan secara bersamaan. Sistem ACPS dapat digunakan secara jangka panjang, karena semakin baik kontrol saat pengecoran dan curing di casting yard, yaitu dengan menjaga campuran beton secara konsisten dan memastikan semua panel dicuring dengan benar, hal itu dapat meminimalkan permasalahan, antara lain built in curl/warp, surface strength loss, inadequate air-entrainment.
“Sistem ACPS merupakan beton precast yang diberi tekanan arah melintang pretension di pabrik, dan arah memanjang post-tension di lokasi proyek. Karena diberi prestressing, dalam setiap kondisi beton selalu dalam keadaan tertekan dan tidak pernah menahan tarik, sehingga secara teoritis umurnya jauh lebih lama. Selain itu, sistem ACPS mampu menahan beban 80 kN ESAL (Equivalent Single Axle Load) dengan ketebalan beton 20 cm,” jelas Dwiyono. Sedangkan pada sistem RPC memerlukan ketebalan 30 cm, lanjutnya, dan dilaksanakan pengecoran secara konvensional dimana pada setiap 5 meter ada expansion joint.
Letak kelemahan sistem RPC adalah di expansion joint tersebut, dimana silent-nya seringkali lepas keluar akibat adanya tekanan roda kendaraan, yang mempengaruhi tanah dasarnya. Sehingga terjadi rongga dan air bisa merembes masuk. “Pada sambungan tersebut, yang menyebabkan kegagalan beton. Akibat tanah dasarnya tergerus sehingga beton menggantung, dan ketika beton menerima beban maka beton menjadi patah. Faktor kegagalan lainnya pada sistem RPC konvensional, yakni pada saat pengecoran di tempat, dimana truck mixer cenderung naik ke atas lean concrete sehingga lean concrete pecah sebelum di- rigid. Selain itu konsistensi beton dan proses curing sangat tergantung kondisi cuaca di lapangan (terutama suhu ) dan bisa terjadi inkonsistensi yang menyebabkan hasil yang kurang baik” ungkapnya.
Sementara pada sistem ACPS, expansion joint pada setiap 100 meter dan kemungkinan seperti yang terjadi pada expansion joint di sistem RPC menjadi 20 kali lebih kecil. Sistem ACPS dikerjakan di pabrik dengan dimensi setiap panel 2,5 m x 8,2 m tebal 20 cm, dan pada setiap 2,5 m disambung di lokasi proyek menggunakan epoxy yang kekuatannya lebih besar dari betonnya sendiri. “Pada awal pelaksanaan proyek, diragukan presisinya pada sambungan tersebut yang akan berakibat indeks kekasaran (roughness) dan kekesatannya (skid resistance) tidak dapat memenuhi syarat,” kata Dwiyono. Namun, sambungnya, setelah dilakukan pengujian kerataan dan kekesatan di Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum, diperoleh hasil ketidakrataan ruas tol Kanci-Pejagan Sta.0+000-Sta.0+300 berkisar antara 2,01 sampai dengan 2,79 m/km dan rata-rata 2,30 m/km. Hal tersebut, menunjukkan bahwa ruas jalan yang diuji memiliki nilai IRI <> 0,33, sehingga seluruh perkerasan memenuhi persyaratan standar pelayanan atau cukup aman bagi pengguna jalan. “Selain uji coba di Pusat Litbang Jalan, uji coba juga sudah dilakukan langsung di lapangan, yaitu ketika panel ACPS yang sudah selesai dipasang hingga finishing, ketika dilalui mobil truck pengangkut tanah (tronton) dan truck mixer ternyata kuat dan tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” ujar Nurhadi.
Lebar Jalan Tol Kanci-Pejagan adalah 2 lajur x 3,6 meter (di dalam marka jalan) ditambah 2 x 0,5 meter (diluar marka jalan) tebal 20 cm dengan sistem ACPS. Sedangkan bahu jalan masing-masing lebar 2,5 meter (bahu luar) dan 1,5 meter (bahu dalam) tebal 20 cm dengan sistem RPC konvensional. Untuk memperlancar proses cetak panel ACPS, PT Adhi Karya mendirikan pabrik di atas lahan seluas 5, 2 hektar. Setiap hari dapat mencetak panel ACPS maksimum sebanyak 237 panel. Sementara tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan di pabrik maupun di lokasi proyek total sekitar 3.000 orang
Menurut Ir Pristi Wahyono-Plant Manager ACPS, PT Adhi Karya (Persero) Tbk, pekerjaan pengecoran ACPS tidak terpengaruh oleh cuaca karena panel ACPS dicetak dipabrik. Sehingga pelaksanaan pekerjaan tanah dengan sistem ACPS bisa parallel, tidak seperti bila menggunakan sistem konvensional yang sangat tergantung dengan cuaca karena cor di tempat. Urutan pelaksanaan pekerjaan produksi ACPS di pabrik, dimulai dari seting mould, kemudian install strand & pretention stressing. Dilanjutkan pemasangan besi (longitudinal duct & lifting anchor), kemudian dilakukan pengecoran, dan finishing.
Untuk mempercepat umur beton dilakukan steam curing. Setelah beton mencapai umur yang ditentukan, dilakukan demoulding dan angkat panel ke stockyard. “Alat untuk mencetak beton terdiri dari 12 baris, dimana setiap baris terdiri dari 13 mould. Jadi sekali mengecor dapat diperoleh panel beton dengan kapasitas 156 mould. Cycle time pengecoran panel beton 16 jam. Di sini ada 1 batching plant yang khusus melayani suplai beton readymix di pabrik, dengan mutu beton K-400 kapasitas per jam 120 m3. Sementara jumlah batching plant yang melayani semua kegiatan proyek, baik di pabrik maupun di lokasi proyek ada 4 batching plant,” ujarnya.
Pristi juga mengatakan, hal yang terpenting dalam pekerjaan produksi panel ACPS adalah ketelitian masalah akurasi, yang dituntut untuk bisa memenuhi dimensi toleransi yang sangat ketat yaitu penyimpangan ketebalan beton maksimum 2 mm. Karena dengan adanya penyimpangan akan mempengaruhi pemasangan di lapangan dan pada saat ini adanya masalah tersebut sudah bisa teratasi dengan proses quality qontrol yang ketat. Dan hingga saat ini (red-awal Juni 2009) telah memproduksi lebih dari 6.000 panel beton ACPS atau sekitar 15 km, sedangkan yang sudah terpasang hingga awal Juni lalu sekitar 10 km.
“Kendala yang kami alami adalah bila kondisi lapangan menghendaki ukuran panel yang tidak standar, karena jalan membentuk desain belokan atau lengkungan sehingga lebar panel menjadi tidak sama,” ungkapnya.
Sementara itu Ir Irfan A.Taufik-Construction Manager Install ACPS PT Adhi Karya (Persero),Tbk mengatakan, pada awalnya ada permasalahan pada bagian dasar Lean Concrete (LC) dimana konstruksi ini memerlukan kerataan dan presisi yang tinggi karena bersifat expose (tanpa lapisan finishing akhir di atas permukaan panel), dan ditemukan juga kendala lain di lapangan berupa deviasi alignment. Memang untuk hal baru seperti ini, kita memerlukan fase Learning Curve untuk mencapai hasil terbaik, dan saat ini kami sudah mendapatkan metoda dan cara untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Sistem ACPS pada bagian permukaan adalah ekspose, ujarnya, maka elevasi final harus rata, serta bagian bawah tidak boleh ada rongga, dan bila ada rongga harus digrouting. Dalam pelaksanaan grouting pun diperlukan langkah-langkah kerja yang presisi. Faktor Safety pada saat pemasangan ACPS harus menjadi perhatian utama karena selain menggunakan alat Mobile Crane yang memerlukan area bebas untuk manuver, juga di lapangan dilakukan stressing untuk Post tension cable nya.
Sementara terkait pekerjaan tanah di bawah ACPS, Ir Yudi Kustiaji-Project Production Manager Earthworks PT Adhi Karya (Persero) Tbk mengatakan, biasanya disyaratkan hasil pengujian kepadatan untuk tanah ,hingga mencapai CBR 14. Sedangkan kepadatan tanah dasar untuk ACPS yang disyaratkan dari Amerika, yaitu CBR minimal 6. Tetapi rata-rata CBR di proyek ini diperoleh 10, karena lebih padat lebih bagus. Untuk pekerjaan timbunan tanah di lokasi proyek, elevasi yang tertinggi mencapai 4 meter. Pemadatan tanah timbunan dilakukan layer by layer tiap 20 cm, sesuai dengan yang disyaratkan. Tolok ukur hasil akhir spesifikasi teknis yaitu kepadatan tanah pada posisi finish subgrade (di bawah Lean Concrete) adalah 100%. Setelah kepadatan tanah timbunan sesuai dengan level yang ditentukan, dilakukan pengecoran Lean concrete tebal 5 cm untuk lantai kerja panel ACPS. Sedangkan pada sistem RPC tebal Lean concrete 10 cm.
Setelah Lean concrete sudah dalam kondisi cukup umur, ujar Irfan, kemudian dilakukan pemasangan panel beton ACPS dengan kapasitas produksi tiap hari 700 meter, yang dilaksanakan oleh tenaga kerja lapangan dan peralatan sebanyak 7 group dan masing-masing group ada 15 orang. Pada awalnya kapasitas produksi per group hanya 50m/hari (10 jam kerja), akan tetapi saat ini rata2 sudah 100m/hari bahkan bisa 150m/hari. Adapun urutan pelaksanaan Install ACPS secara umum adalah setelah lean concrete mencapai kekuatan yang ditetapkan dilakukan install ACPS, kemudian pada setiap 2,5 meter panel dilakukan perekatan antar panel ACPS. Selajutnya, pelaksanaan install strand dan post tension stressing dua arah kapasitas masing-masing 50%, dan kemudian 100%. Terakhir, pekerjaan grouting tendon dan bottom slab pada 4 titik lubang di setiap panel menembus ke lane concrete. Satu rangkaian panel ACPS disetiap 100 meter, terdiri dari joint panel, base panel, central panel, base panel, dan joint panel.