Oleh : Niji No Saki (www.kompasiana.com/niji_no_saki)
Pagi ini ketika chatting dengan
orangtua saya di Balikpapan, mereka bercerita tentang mega proyek pembangunan
rel kereta api yang akan menghubungkan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
“Berita bagus..” pikir saya, sudah saatnya Kalimantan punya transportasi masal
seperti halnya Jawa dan Sumatera. Usaha pembangunan jalur trans kalimantan ini
konon pernah dilakukan oleh pemerintah Belanda, namun ribuan kilometer hutan
hujan tropis yang membentang 1,5 kali panjang pulau Jawa tersebut membuat proyek ini
gagal dilakukan. Rintangannya dianggap terlalu besar pada saat itu.
Sejak RI merdeka,
Kalimantan seperti halnya daerah-daerah timur Indonesia lainnya, adalah daerah
yang terlupakan. Segala macam hasil tambang diangkut dari dalam perutnya namun
sedikit sekali masyarakat menikmati hasilnya. Baru ketika otonomi daerah diberlakukan
ekonomi dan dinamika sosial mulai bergeliat. Hal ini menghantarkan kota-kota
seperti Balikpapan dan Bontang diminati para pencari kerja dari seluruh
Indonesia.
Jakarta Post tanggal
8 Februari 2012 memberitakan bahwa perusahaan kereta api Rusia Joint Stock
Company (JSC) Russian Railway menandatangani MoU dengan
pemerintah Kaltim untuk membangun jalur kereta api sepanjang 243 Km yang akan
menghubungkan kab. Murung Raya di Kalteng dengan Balikpapan di Kaltim dengan
nilai investasi sebesar US$ 2,4 miliar (sekitar Rp 21,6 triliun).
Pembangunannya akan dimulai di tahun 2013. Dalam paparannya, direktur Kalimantan
Rail, Andrey Shigaev menyatakan bahwa Rusia memiliki pengalaman puluhan tahun
mengembangkan infrastruktur perkeretaapian. Ia juga menjamin bahwa teknologi
negaranya tak kalah dengan bangsa-bangsa lain, “Ini seperti (senjata)
Kalashnikov tapi di atas rel. Teknologinya bisa diandalkan, murah dan mudah
dalam pemeliharaannya.”
Rusia adalah salah
satu negara dengan luas tanah terbesar di dunia. Ia terkenal dengan rel kereta
api terpanjang di dunia, Trans-Siberian Railway yang
membentang lebih dari 9200 Km dari Moscow di ujung barat hingga Vladivostok di
tepi Pasifik yang pembangunannya dimulai di abad ke-19. Selain itu, Rusia juga
dikenal sebagai eksportir utama fuel di Eropa. Ia memiliki cadangan natural gas
terbesar di dunia dan peringkat ke-8 dalam cadangan minyak. Sebagian besar
stasiun pengisian bensin di Eropa adalah milik Rusia. Pasca kolapsnya Uni
Soviet, Rusia tetap menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Gelontoran investasi
Rusia di Kalimantan ini ternyata bukan satu-satunya, Selasa lalu (7/2/2012)
pemerintah juga meneken MoU dengan investor asing asal Uni Emirat Arab, Ras Al
Khaimah untuk membangun rel sepanjang 135 Km dari Muara Wahau ke Bengalon,
Kutai Timur dengan nilai investasi US$ 560 juta (sekitar Rp 5 triliun).
Eiitssss…jangan keburu senang dulu, kereta api tersebut teryata bukan
untuk angkutan penumpang melainkan untuk batu bara.
Pastinya anda
menyadari bahwa setiap pembangunan membutuhkan infrastruktur. Untuk
menghubungkan daerah-daerah terpencil di Indonesia pemerintah mungkin tidak
memiliki cukup dana sehingga harus merangkul investor untuk itu. Namun perlu
dipertanyakan, dengan nilai investasi yang sedemikian fantastis kira-kira timbal
balik apa yang akan didapatkan investor?
Kalimantan adalah
raksasa tambang. Minyak bumi, gas alam dan yang baru-baru ini menimbulkan mining
frenzy, batu bara. Batu bara di Kalimantan dapat dengan mudah dieksploitasi
dengan tambang terbuka; orang tak perlu sulit-sulit menggali sekian kilometer
ke dalam tanah untuk mendapatkannya seperti di China. Tinggal mengeruk saja,
maka emas hitam itu sudah tampak di depan mata. Itulah pula sebabnya kebakaran
hutan di Kalimantan kerap terjadi dan sulit dipadamkan. Batu bara yg terdapat
di permukaan tanah dengan mudahnya menyambar sumber panas dari lingkungan.
Saat ini kebanyakan
orang mengenal Kaltim Prima Coal (KPC) sebagai salah satu pemegang lisensi
eksplorasi dan pertambangan batu bara terbesar di wilayah ini, namun ternyata
ada yang jauh lebih besar lagi, dalam 1-2 tahun ke depan akan masuk perusahaan mega tambang asal
Ingggris, BHP Biliton. Tak tanggung-tanggung, mereka memegang 7 konsesi yang
dikeluarkan pemerintah pusat. Besarnya? lebih dari 3x lipat konsesi milik KPC,
mereka mendapat lisensi mengelola 355 ribu hektar atau sepadan
dengan 5x lipat luas kota Samarinda. Dari 7 konsesi ini, BHP Biliton
diperkirakan dapat meraup 775 juta ton batubara, atau 15x produksi
KPC yang 48 juta ton. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi kaltim, Amrullah
membenarkan hal ini, tahun ini BHP masih melakukan eksplorasi, “Eksploitasinya
kemungkinan tahun depan. Izinnya dari pusat..” jelasnya. Lokasi konsesi
BHP Biliton yang ‘kebetulan’ terletak di ujung rel, di Kutai Barat dan Murung
Raya membuat saya berpikir, adakah pembangunan rel ini merupakan upaya
memuluskan jalan eksploitasi tersebut? Jika perusahaan ini telah beroperasi, tentu
tak perlu waktu lama bagi JSC Rusia untuk mendapatkan BEP-nya.
Selain itu ada fakta
menarik, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melalui wakilnya, Kahar Al Bahri
mengemukakan bahwa Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Kab. Kutai
Kartanegara (Kukar) membeludak di periode 2009-2011, bukan hanya jumlahnya
namun juga luasnya. Jumlah IUP eksplorasi di tahun 2009 adalah 344 ribu
hektare. Di tahun 2011, jumlah ini meningkat jadi 1,06 juta hektare.
Pertambahan yang sangat luar biasa. “Bukan tidak mungkin, izin yang menembus 1
juta hektare di kabupaten ini tersebar di sekitar rel kereta api. Artinya ada
aksi pengerukan batu bara yang luar biasa hebat sebentar lagi..” tambahnya.
Di atas
kertas, investasi besar-besaran memang mendatangkan keuntungan bagi
negara, pun ia membuka ribuan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Namun
apakah dampak yang ditimbulkannya sepadan dengan apa yang diterima oleh
masyarakat kebanyakan? Mengenai rencana pembangunan kereta api ini, fungsi
utamanya adalah pengangkut batu bara. Apa manfaat langsung yang bisa dirasakan
rakyat? Dirjen Kemenhub Tundjung Inderawan mengatakan “Kereta api yang
fokus mengangkut penumpang di dunia tidak ada yang untung. Paling banter sama.
makanya harus ada subsidi silang, misalnya dengan angkutan barang atau batu
bara.. Di tengah rutinitas mengangkut batu bara perusahaan memberikan jadwal
khusus untuk mengangkut penumpang sebagai bentuk Corporate Social
Responsibility (CSR)..” lanjutnya.
Nampaknya rencana eksploitasi
ini sudah tinggal menunggu waktu, investor telah mengantongi ijin, MoU sudah
diteken, dana siap digelontor dan kabar-kabarnya lahan sudah mulai dibebaskan.
Namun ternyata tak semua orang setuju, Gubernur Kalteng Teras Narang menolaknya.
Ia menegaskan bahwa kereta api pengangkut batu bara tsb akan meninggalkan
bencana bagi rakyat Kalteng terutama di wilayah aliran S. Barito. Pasalnya
daerah yg rencana akan dibangun itu berada pada kawasan hutan lindung di
pegunungan Muller-Schwanner, Kab. Murung Raya yang berfungsi sebagai daerah
resapan air.
Kekuatiran gubernur
Kalteng ini sangat masuk akal. Semua orang Kalimantan yang tinggal di sekitar
area penambangan juga tahu dampak kerusakan lingkungan yang ditinggalkan begitu
saja oleh pengusaha ketika tambang sudah habis. Lubang-lubang bekas galian
menganga sebesar danau tak jarang memakan korban. Air sungai pun tercemar
akibat limbahnya. Reklamasi? Omong kosong…entah sudah berapa ribu hektar hutan
yang telah dibabat habis dan ditinggalkan begitu saja. Akibatnya banjir pun
kerap melanda pemukiman penduduk. Bukan itu saja, infrastruktur publik kerap
menjadi korban. Berkunjunglah ke kota Samarinda atau Tenggarong, jalan rusak
terbentang akibat aktivitas penambangan ini. Masih kurang? Jembatan pun kerap
ditabrak oleh tongkang batu bara. Jembatan Mahakam I di Samarinda (bukan yg
runtuh tahun lalu) tercatat pernah 6x ditabrak tongkang. Baru-baru ini jembatan Kalahien di Kalteng juga mengalami hal yang sama. Ini
hanyalah sedikit dari sederet dampak negatif penambangan batu bara di
Kalimantan, setelah sekian tahun dieksploitasi ternyata rakyat tak kunjung
merasakan manfaatnya. Lihat saja Kutai Kartanegara yang dikenal sebagai
kabupaten terkaya di Indonesia karena batu bara, ironisnya kasus gizi buruk di wilayah ini adalah
yang terburuk di Kaltim.
Sebelum mega
eksploitasi asing ini berjalan, pemerintah pusat dan daerah saja begitu tidak
bergigi dalam menghadapi ulah pengusaha batu bara yang kerap merugikan
masyarakat dan merusak lingkungan, lalu bagaimana mereka akan menghadapi
kekuatan modal asing yang demikian masif? Tidak belajarkah pemerintah dari
kasus Freeport, juga pada berbagai konflik sosial berujung pada kekerasan
antara masyarakat dan penanam modal di seluruh Indonesia? Pemberian ijin
konsesi yg sedemikian luasnya tsb membuat saya mengelus dada, apalagi
infrastruktur pendukungnya juga jatuh ke tangan asing. Mengapa dengan mudahnya
menjual aset? Jika tak punya dana pun, tak bisakah pemerintah kita melibatkan
BUMN atau perusahaan konstruksi lokal dalam pembangunannya? Setidaknya kita
punya andil dalam mengelola dan membangun, tidak hanya sekedar memasrahkan
begitu saja.
Batu bara memang
selalu jadi rebutan. Sebelum investor asing seperti BHP Biliton masuk pun
begitu banyak pengusaha lokal yang mencoba meraup untung darinya. Saya kira
semua orang yang pernah berbisnis batu bara tahu bahwa ada jaringan mafia kuat
di dalamnya. Begitu kuatnya hingga saat Dahlan Iskan masih menjabat sebagai
Dirut PLN, beliau pernah mengemukakan betapa sulitnya PLN mendapatkan batu bara
hingga harus membelinya dengan harga internasional. Sungguh ironis, rakyat
Kalimantan literally hidup di atas tumpukan batu bara namun
daerahnya mengalami krisis energi terparah di Indonesia. Penyebabnya adalah karena
sebagian besar perusahaan batu bara lebih memilih mengekspor batu bara ke China
dan India ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Saya terpekur,
sejenak melirik perut yang kian hari kian membuncit. “Duhai nak, apa yang
generasi kami bisa tinggalkan untukmu 20 tahun mendatang?”
Sumber:
Kaltim post edisi
cetak